Rabu, 12 Agustus 2015

Tak Tergapai

Gelap.

Aku tidak pernah merasa takut pada gelap. Gelap biasa, gelap yang pekat, gelap yang sunyi dan senyap, gelap yang penuh guntur dan kilat. Mereka kawan dalam keseharianku.

Bukan. Bukan karena apa-apa. Hanya saja ini tuntutan dari pekerjaan.

Banyak yang bilang keren. Banyak yang bilang ingin menjadi aku.

Mereka tak tahu. Bagaimana rasanya harus menjaga yang tidak terjaga. Mereka bahkan memujaku. Hingga aku sering bertanya: siapa yang bekerja apa dan siapa yang menginginkan apa?

Sudah, jangan dipikirkan. Aku bahkan tak terlalu memusingkannya.

Pejerjaanku bukanlah suatu hal yang kubenci, meskipun tidak terlalu kusenangi. Karena hanya pada pekerjaan inilah, aku bisa bertemu dengannya. Meski hanya sekejap, aku bisa melihat rautnya. Melihat kilaunya.

Dia, bagaikan permata yang bersinar terang.

Lama aku mengaguminya, namun sayang, waktu bukanlah kawan baik dalam pekerjaanku. Waktu dan hari esok adalah hal paling menakutkan yang takdir gariskan untukku.

Jres! Suara itu melamunkanku dari lamunanku.

Dia datang! Permataku datang!

Lihat sinarnya yang keemasan. Lihat kilaunya. Ah... seandainya saja bisa kugapai.

Namun apalah daya, aku hanya sebuah lampu minyak tukang sate keliling, menginginkan cinta dari korek api.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1
dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter
@nulisbuku